Cuaca siang itu
cukup panas. Mentari sepertinya sedang bermurah hati menampakkan diri. Jilbab
biru laut yang kujelujur sama sekali tak bergerak. Karena memang sang bayu
kurang berminat menyaingi matahari yang sangat angkuh menjilat-jilatkan
panasnya.
“nyari minum yuk. haus aku. ada es buah nggak di daerah sini?”tanyaku
Gadis gendut berkulit langsat itu mengangguk semangat. Rambut ekor kudanya bergerak-gerak. Ditambah senyuman khasnya yang memamerkan deretan gigi kecil putih. Presty terlihat seperti gadis 10 tahun yang kegirangan karena mendapatkan permen.
Hanya perlu berjalan beberapa menit kami sudah menemukan penjual es buah. Jalan menuju alun-alun Kebumen memang terkenal terkenal dengan koleksi makanannya. Hampir seperti jalan Malioboro kalau di Jogja.
Belum genap satu menit kami duduk. Seorang lelaki dengan postur sedang mendekati mejaku. Jangan bayangkan dia sebagai laki-laki necis berkemeja putih bergaris lengkap dengan dasi dan jam tangan keluaran luar negri seperti di sinetron-sinetron.
Karena yang kutemukan justru lelaki seumuranku dengan kaos distro hitam dan celana jeans yang robek sana-sini. Dari dandanannya pria itu tak terlihat berbeda dengan preman yang biasa menarik pajak di stasiun. Aku tersenyum canggung kearahnya. Kami sudah beberapa hari ini namun aku sama sekali tak tahu siapa orang aneh didepanku itu.
Laki-laki itu berdiri lurus didepanku. Mata elangnya menatap tajam kearahku, seolah-olah menatap detail wajah bulatku.
“Eh jalangkung lagi. Kenapa sih dateng-dateng terus liatin siska kaya gitu. Ente naksir sama siska,” goda Presty.
Laki-laki itu menatap marah kearah Presty. Sejurus kemudian ia menatap lagi kearahku.
“siapa namamu?” Tanya laki-laki itu acuh tanpa menjulurkan tangan seperti umumnya seseorang yang mengajak kenalan.
“Siska Gusepta Prastiti. Kakak bisa manggil aku Siska, atau Septa,”jawabku dengan nada seramah mungkin.
Lelaki itu hanya diam. Mata elangnya lagi-lagi menatap penuh selidik kearahku. Sejurus kemudian dia pergi, meninggalkanku yang terbengong-bengong kebingungan.
“nyari minum yuk. haus aku. ada es buah nggak di daerah sini?”tanyaku
Gadis gendut berkulit langsat itu mengangguk semangat. Rambut ekor kudanya bergerak-gerak. Ditambah senyuman khasnya yang memamerkan deretan gigi kecil putih. Presty terlihat seperti gadis 10 tahun yang kegirangan karena mendapatkan permen.
Hanya perlu berjalan beberapa menit kami sudah menemukan penjual es buah. Jalan menuju alun-alun Kebumen memang terkenal terkenal dengan koleksi makanannya. Hampir seperti jalan Malioboro kalau di Jogja.
Belum genap satu menit kami duduk. Seorang lelaki dengan postur sedang mendekati mejaku. Jangan bayangkan dia sebagai laki-laki necis berkemeja putih bergaris lengkap dengan dasi dan jam tangan keluaran luar negri seperti di sinetron-sinetron.
Karena yang kutemukan justru lelaki seumuranku dengan kaos distro hitam dan celana jeans yang robek sana-sini. Dari dandanannya pria itu tak terlihat berbeda dengan preman yang biasa menarik pajak di stasiun. Aku tersenyum canggung kearahnya. Kami sudah beberapa hari ini namun aku sama sekali tak tahu siapa orang aneh didepanku itu.
Laki-laki itu berdiri lurus didepanku. Mata elangnya menatap tajam kearahku, seolah-olah menatap detail wajah bulatku.
“Eh jalangkung lagi. Kenapa sih dateng-dateng terus liatin siska kaya gitu. Ente naksir sama siska,” goda Presty.
Laki-laki itu menatap marah kearah Presty. Sejurus kemudian ia menatap lagi kearahku.
“siapa namamu?” Tanya laki-laki itu acuh tanpa menjulurkan tangan seperti umumnya seseorang yang mengajak kenalan.
“Siska Gusepta Prastiti. Kakak bisa manggil aku Siska, atau Septa,”jawabku dengan nada seramah mungkin.
Lelaki itu hanya diam. Mata elangnya lagi-lagi menatap penuh selidik kearahku. Sejurus kemudian dia pergi, meninggalkanku yang terbengong-bengong kebingungan.
∞∞∞∞∞
“Adry itu sebenernya lelaki
yang baik sis. Terlepas dari dandanannya yang kaya preman, dia arsitek muda
paling dipertimbangkan di Kebumen. Dia juga cakep. Cocoklah pokoknya sama kamu
yang cantik. Hehe. Kamu lihat gedung itu? Itu karyanya sis. Kerenkan?”
Aku mengamati gedung yang sedang dibangun diseberang jalan. Gedung itu sedikit berbeda dengan bangunan disekitarnya. Gedung megah bertingkat dengan tiga jendela kaca didasar gedung. 4 jendela dipertengahan, dan satu jendela lengkung dipaling atas. Mirip bangunan dikartun anak-anak yang pernah kutonton.
“desain yang unik,”gumamku
“Memang. Tapi satu yang mungkin nggak akan kamu kira dari pusat perbelanjaan. Ada taman di sentranya. Dia sepertinya tahu persis jika bumi sedang merana,” komentar Presty.
Aku mengerutkan kening. Tata taman di daerah perdagangan? Aku bahkan tak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya. Tapi aku berani taruhan. Adry pasti sudah mempertimbangkan detail tempat itu. Apalagi gedung itu diisukan akan menjadi kawasan perdagangan paling megah di kota ini.
“dia mengagumkan,”batinku
Aku mengamati gedung yang sedang dibangun diseberang jalan. Gedung itu sedikit berbeda dengan bangunan disekitarnya. Gedung megah bertingkat dengan tiga jendela kaca didasar gedung. 4 jendela dipertengahan, dan satu jendela lengkung dipaling atas. Mirip bangunan dikartun anak-anak yang pernah kutonton.
“desain yang unik,”gumamku
“Memang. Tapi satu yang mungkin nggak akan kamu kira dari pusat perbelanjaan. Ada taman di sentranya. Dia sepertinya tahu persis jika bumi sedang merana,” komentar Presty.
Aku mengerutkan kening. Tata taman di daerah perdagangan? Aku bahkan tak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya. Tapi aku berani taruhan. Adry pasti sudah mempertimbangkan detail tempat itu. Apalagi gedung itu diisukan akan menjadi kawasan perdagangan paling megah di kota ini.
“dia mengagumkan,”batinku
∞∞∞∞∞
Hari itu aku tak
pergi ke Panti Asuhan “Kasih Bunda” seperti biasa. Aku berencana mengunjungi
sebuah tempat di kota ini. Tempat yang membuatku ingin selalu ke Kebumen
sekaligus ingin selalu meninggalkannya. Gedung Olah Raga dengan aksen ungu itu
tak banyak berubah dari pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota ini. Aku
ingat dimana rombongan kontingen Daerah Istimewa Yogyakarta memarkirkan bus.
Bahkan aku ingat saat aku menatap puluhan manusia didekat pintu masuk GOR
dibalik kaca bus. Aku yang saat itu masih duduk di kelas X Sekolah Menengah
Atas tak berhenti berdo’a agar bisa lolos ke POPNAS. Do’a yang terjawab
bencana.
Aku menghela nafas yang terasa berat. Jalan ini masih sama dengan jalan yang kulalui tiga tahun lalu, setengah tahun lalu, dan hari ini. Jalan yang mengingatnya hanya menggoreskan luka. Aku berjalan perlahan menikmati setiap detik di tempat bersejarah ini.
Aku kemudian duduk disalah satu bangku di halaman. Iseng mengamati petugas kebersihan menyapu lantai gedung.
Aku menghela nafas yang terasa berat. Jalan ini masih sama dengan jalan yang kulalui tiga tahun lalu, setengah tahun lalu, dan hari ini. Jalan yang mengingatnya hanya menggoreskan luka. Aku berjalan perlahan menikmati setiap detik di tempat bersejarah ini.
Aku kemudian duduk disalah satu bangku di halaman. Iseng mengamati petugas kebersihan menyapu lantai gedung.
“ehem..” suara
deheman itu mengagetkanku. Membuat jantungku berdebar kencang. Lelaki dengan kaos
putih, jaket putih, celana jeans krem, dan headset putih. Itu dandanan khas
seseorang. Seseorang yang kurindukan setengah tahun terakhir ini. Aku tak tahu
apa yang terjadi dalam lima menit itu. Entah itu mimpi atau halusinasi.
“dia sudah pergi,” ucap pria itu acuh. Ucapannya membuatku kembali kealam sadar. Aku menurunkan tanganku yang tanpa kusadari telah memeluk pria itu erat sekali.
“maaf. aku kira kamu,” kataku lirih
Suaraku menghilang diujung kalimat. Kugigit bibir bawahku untuk menahan air mataku agar tak tumpah.
“Bryan. Tak sedikit yang menyangka aku dan dia kembar. Bahkan gadis yang paling mencintainya dan dia cintai begitu pula,” ucap Adry sinis.
Aku hanya menunduk. Mengamati sepatu kets biru yang kupakai. “maaf. aku kira kamu kak Bryan. aku kangen kak bryan dry..” jawabku lirih.
Hening beberapa saat
“Kamu masih belum berubah sep. Masih seperrti gadis SMA yang kubopong 3 tahun lalu ke mobil cabang karena asmamu kumat,”
Aku hanya menunduk mengamati kerudung biru dokar yang kupakai. GOR itu tiba-tiba terasa sepi.
“Gadis ingusan paling merepotkan. Kenapa sih keadaanmu selalu menyedihkan tiap aku ada. Dan entah hal bodoh apa yang membuatku harus selalu rela menolongmu,”
Aku hanya menunduk. “maaf..” ucapku lirih.
Adry mendesah lirih
“Tapi gadis ingusan itu hebat. Terlalu hebat malah sampai bisa membuat laki-laki 3 tahun diatasnya mencintainya. Bahkan masih sempat memikirkan nasib gadis itu diakhir hidupnya”. Adry memandang wajahku lurus. Mata elangnya berkerjap-kerjap.
“baca ini!” seru Adry.
“Tolong jagain Septa ya bray. Jangan ampe ada hal-hal buruk yang menimpa dia. Ente tahu sendirikan gimana sayangnya gue ama “adik kecil” gue itu”
Mataku terasa panas melihat surat itu.
“Ini titipan dia buat lu. Gue belon pernah baca,”
Aku menerima amplop kedua itu dengan detak jantung tak teratur.
“dia sudah pergi,” ucap pria itu acuh. Ucapannya membuatku kembali kealam sadar. Aku menurunkan tanganku yang tanpa kusadari telah memeluk pria itu erat sekali.
“maaf. aku kira kamu,” kataku lirih
Suaraku menghilang diujung kalimat. Kugigit bibir bawahku untuk menahan air mataku agar tak tumpah.
“Bryan. Tak sedikit yang menyangka aku dan dia kembar. Bahkan gadis yang paling mencintainya dan dia cintai begitu pula,” ucap Adry sinis.
Aku hanya menunduk. Mengamati sepatu kets biru yang kupakai. “maaf. aku kira kamu kak Bryan. aku kangen kak bryan dry..” jawabku lirih.
Hening beberapa saat
“Kamu masih belum berubah sep. Masih seperrti gadis SMA yang kubopong 3 tahun lalu ke mobil cabang karena asmamu kumat,”
Aku hanya menunduk mengamati kerudung biru dokar yang kupakai. GOR itu tiba-tiba terasa sepi.
“Gadis ingusan paling merepotkan. Kenapa sih keadaanmu selalu menyedihkan tiap aku ada. Dan entah hal bodoh apa yang membuatku harus selalu rela menolongmu,”
Aku hanya menunduk. “maaf..” ucapku lirih.
Adry mendesah lirih
“Tapi gadis ingusan itu hebat. Terlalu hebat malah sampai bisa membuat laki-laki 3 tahun diatasnya mencintainya. Bahkan masih sempat memikirkan nasib gadis itu diakhir hidupnya”. Adry memandang wajahku lurus. Mata elangnya berkerjap-kerjap.
“baca ini!” seru Adry.
“Tolong jagain Septa ya bray. Jangan ampe ada hal-hal buruk yang menimpa dia. Ente tahu sendirikan gimana sayangnya gue ama “adik kecil” gue itu”
Mataku terasa panas melihat surat itu.
“Ini titipan dia buat lu. Gue belon pernah baca,”
Aku menerima amplop kedua itu dengan detak jantung tak teratur.
“Mungkin kamu baca surat
ini saat aku udah jauh dialam sana. Jadi kuharap nggak akan ada satu tetes air
matapun yang mengalir saat baca surat ini. Inget janji kita waktu aku ke Jogja?
Aku bakal ikut kejuaraan fight bareng sama kamu. Dan kita udah nunaiin janji
itu bareng-bareng.
Sekarang berjanjilah. Jangan jadi cewek cenggeng. Septa itu gadis kuat. Jaga dirimu baik-baik ya ta. Kamu punya kakak baru sekarang. Adry Ferdiano. Bantu dia ta. Kayak kamu selalu bantu aku ^_^. Aku menyayangimu,”
Tanganku bergetar memegang kertas putih itu, berusaha sekuat tenaga menyunggingkan senyumku tipis. Dan berjanji dalam hati “kak Bryan. Septa juga sayang kakak. Septa janji bakal bantu Kak Adry. Demi Kak Bryan”
Adry mengerutkan keningnya “apa isinya?” tanyanya.
“Ada deh. Aku punya kakak baru sekarang dry. Sekaligus bodyguard,” godaku kemudian tertawa.
Adry tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatku barusan. Entah bahagia atau justru menertawaiku. Namun yang jelas itu sudah cukup untuk membuatnya nampak “tampan” dengan hiasan gingsul kanannya. Dan itu mungkin pertama kalinya dia tertawa renyah, bukan tersenyum sinis seperti baisanya. Tuhan semoga senyum itu akan terus kulihat untuk mengobati luka setelah kepergiannya.
Gedung Olah Raga beraksen ungu itu memang masih gedung yang sama. Gedung yang sama dengan yang kudatangi 3 tahun lalu saat aku terakhir kalinya bermain di matras sebelum cidera tangan dan asmaku memaksaku berhenti ikut fight. Gedung yang sama pula dengan yang kudatangi setengah tahun lalu, saat mobil hitam metallic itu dengan angkuhnya menghempaskan sosok laki-laki yang paling kucintai. Dan gedung ini masih gedung yang sama dengan yang kudatangi hari ini. Namun semua akan berubah mulai detik ini. Aku akan mulai lembar baru dengan kakak baru pengganti kak Bryan. Kak Adry.
Sekarang berjanjilah. Jangan jadi cewek cenggeng. Septa itu gadis kuat. Jaga dirimu baik-baik ya ta. Kamu punya kakak baru sekarang. Adry Ferdiano. Bantu dia ta. Kayak kamu selalu bantu aku ^_^. Aku menyayangimu,”
Tanganku bergetar memegang kertas putih itu, berusaha sekuat tenaga menyunggingkan senyumku tipis. Dan berjanji dalam hati “kak Bryan. Septa juga sayang kakak. Septa janji bakal bantu Kak Adry. Demi Kak Bryan”
Adry mengerutkan keningnya “apa isinya?” tanyanya.
“Ada deh. Aku punya kakak baru sekarang dry. Sekaligus bodyguard,” godaku kemudian tertawa.
Adry tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatku barusan. Entah bahagia atau justru menertawaiku. Namun yang jelas itu sudah cukup untuk membuatnya nampak “tampan” dengan hiasan gingsul kanannya. Dan itu mungkin pertama kalinya dia tertawa renyah, bukan tersenyum sinis seperti baisanya. Tuhan semoga senyum itu akan terus kulihat untuk mengobati luka setelah kepergiannya.
Gedung Olah Raga beraksen ungu itu memang masih gedung yang sama. Gedung yang sama dengan yang kudatangi 3 tahun lalu saat aku terakhir kalinya bermain di matras sebelum cidera tangan dan asmaku memaksaku berhenti ikut fight. Gedung yang sama pula dengan yang kudatangi setengah tahun lalu, saat mobil hitam metallic itu dengan angkuhnya menghempaskan sosok laki-laki yang paling kucintai. Dan gedung ini masih gedung yang sama dengan yang kudatangi hari ini. Namun semua akan berubah mulai detik ini. Aku akan mulai lembar baru dengan kakak baru pengganti kak Bryan. Kak Adry.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar