Kamis, 10 Maret 2016

MENGENAL GETHUK MAGELANG



Sumber : istimewa

Kota Gethuk. Itulah julukan yang melekat dengan Daerah Magelang, Jawa Tengah. Tak salah memang, mengingat makanan khas Magelang memang Gethuk. Seperti apa Gethuk itu?
Sumber : istimewa


Gethuk adalah makanan tradisional yang dibuat dari Singkong atau bisa disebut Jendal. Cara memasaknya tergolong simpel. Singkong direbus, tiriskan, tumbuk dalam alu, beri bumbu, bulatkan, balut dengan tepung beras, goreng, tiriskan, dan gethuk siap di makan. Gethuk seperti ini biasa disebut Gethuk Goreng. Bedanya Gethuk Goreng Magelang dengan kota lain yakni teksturnya yang tetap basah, tidak seperti Gethuk Sokaraja yang sedikit lebih kering.

Sumber : istimewa

Ada juga varian lain dari gethuk yang cukup mudah dijumpai di pasaran yakni gethuk lidri. Bedanya gethuk lidri tidak perlu digoreng. Sehingga prosesnya lebih ringkas lagi. Singkong direbus, tiriskan, tumbuk dalam alu, beri bumbu, dan buat sesuai selera.
Adapula yang menambahkan proses pewarnaan sebelum dicetak. Sehingga Gethuk tidak hanya terlihat tambah lezat melainkan tambah cantik
Sumber : istimewa

Mayoritas Gethuk memiliki ciri khas rasa manis dengan sedikit rasa gurih. Untuk harganya? Cukup aman di kantong. Karena rata-rata Gethuk dibandrol dengan harga Rp 500,- hingga Rp 20.000,- saja. Tergantung jenis dan ukurannya.
Bagaimana tertarik untuk mencoba?

Rabu, 09 Maret 2016

Pesan yang Menuntunmu untuk Pulang

Sumber foto: istimewa
Judul buku           : Pulang
Pengarang            : Tere Liye
Penerbit                : Republika Penerbit
Th terbit               : September 2015
Jumlah halaman   : iv+400 halaman

Bujang atau yang kerap menyebut dirinya Si Babi Hutan adalah jagal nomor satu Keluarga Tong. Bisikan nama Si Babi Hutan di telinga mereka, maka orang-orang akan gemetar ketakutan. Suruh Si Babi Hutan bicara, bahkan seorang presiden pun akan terdiam mendengarkan. Hal tersebut memang tak bisa dielakkan karena di tubuh Bujang mengalir deras darah perewa. “Kakekmu, ayah dari bapakmu. Semua orang di dunia hitam mengenal kakekmu, Bujang. Dia adalah jagal ternama hingga pulau seberang. Julukannya ‘Si Mata Merah’. Bisikkan nama kakekmu di perempatan jalan, satu kota akan bergegas masuk ke dalam rumah, meringkuk terkencing-kencing. Sebutkan nama kakekmu di balai bambu, satu kota akan bergegas pulang, memadamkan lampu” (hlm 144).
            Sebelum bergabung dengan Keluarga Tong, salah satu keluarga besar di dunia shadow economy Bujang mendapat pesan dari Mamaknya. “Kau boleh melupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampung ini. Melupakan seluruh didikan yang Mamak berikan. Melupakan agama yang Mamak ajarkan diam-diam jika bapak kau tidak ada di rumah. Mamak tahu kau akan jadi apa di kota sana. Mamak tahu… Tapi, tapi apapun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang. Kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram. Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu, Bujang. Agar…. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang,” (hlm 24). Pesan yang memang akhirnya memanggilnya tuk Pulang.
            Bujang adalah anak yang berbeda. Ia tidak hanya menjadi tukang pukul untuk melakukan penyerbuan. Namun ia juga menempuh pendidikan di bawah asuhan Frans untuk mengejar ketertinggalan, mengambil kuliah di jurusan terbaik universitas terbaik di kota, dan mengambil dua gelar master sekaligus di universitas ternama luar negeri. Ia adalah sosok jenius, kuat, dan tidak mengenal rasa takut.  Seorang yang mampu melengkapi puzzle Keluarga Tong untuk melebarkan sayapnya.
            Namun naas, setelah usaha Keluarga Tong menggurita, justru ada seseorang penghianat dalam tubuh keluarga itu yang ingin menuntaskan dendam lamanya. Penghianat itu merencanakan misi yang berpegang pada sebuah Pepatah paling terkenal di suku Bedouin. I against my brother, my brother and I against my cousin, then my cousins and I against stranger. Artinya adalah, aku melawan kakakku; kakakku dan aku melawan sepupuku; sepupu-sepupuku, saudara-saudaraku melawan orang asing. Sebuah kejadian yang akhirnya mengembalikan rasa takut ke dalam diri bujang. Namun disaat bersamaan, memanggilnya untuk “pulang”.
         Untungnya, nasib masih berpihak pada Bujang. Ia berhasil memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan keluarga shadow economy tersebut dan mengambil haknya sebagai Teuke Besar selanjutnya.
            Untuk yang mengikuti karya-karya Tere Liye sebelumnya, alur cerita dalam novel Pulang terkesan merupakan perpaduan antara Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan Negeri di Ujung Tanduk. Cerita Bujang yang awalnya menjadi sosok jagal nomor satu lantas memiliki kesempatan untuk “pulang” karena mengingat pesan Mamaknya. Laiknya cerita Ray yang masa kecilnya diisi oleh banyak aksi nakal namun mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri karena ia tunduk saat menatap rembulan. Sedangkan kisah-kisah aksi Bujang yang berujung pada penghianatan salah satu anggota Keluarga Tong bak aksi-aksi Thomas di buku Negeri di Ujung Tanduk dan Negeri Para Bedebah mampu menyelesaikan maneuver raksasa calon terkuat kandidat ketua partai.
            Novel ini sangat cocok untuk insan yang tengah kehilangan pegangan. Karena sesungguhnya, “Jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah seperti yang kita lihat sekarang. Mau sejijik apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun? Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran,” (hlm 339-340).

*Karya: Dewi Ratna Sari

Mengupas Problematika Islam Nusantara

Sumber foto: istimewa

Judul buku    : Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan
Editor            : Akhmad Sahal
Penerbit        : Mizan Media Utama (MMU)
Th terbit        : 2015
Jumlah hal    : 344 halaman
ISBN             : 978-979-433-895-7

Islam Nusantara masih menjadi pembicaraan hangat untuk umat muslim. Terlebih setelah Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015 yang mengusung tema “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia. Yang pada akhirnya melahirkan diskusi, perdebatan, hingga caci maki terkait banyaknya penafsiran, Islam Nusantara makhluk apakah itu?
Buku Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membaginya menjadi tiga kitab yang terdiri dari manifesto Islam Nusantara, kerangka konseptual, dan diskursus mutakhir.
Pada kitab I Manifesto Islam Nusantara, buku membuka pembahasan dengan memaparkan Pribumisasi Islam yang sayangnya sering disalahartikan sebagai jawanisasi atau sinkretisme. Padahal sebenarnya pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nas, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fikih dan kaidah fiqih (hlm 35).
Kitab II Kerangka Konseptual pada buku dibagi lagi menjadi tiga bagian yakni Ushul Fiqh, Aswaja dan Ulama Nusantara, serta Dimensi Tasawuf. Pada bagian Ushul Fiqh dijelaskan bahwasannya ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya ini dalam ushul fiqh disebut dengan ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad untuk menerapkan hukum (hlm 106). Pun sama dalam bagian dua yang membahas Aswaja dan Ulama Nusantara dijelaskan bahwasannya jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya Nusantara (hlm 160). Dalam bagian tiga dimensi tasawuf dari sudut pandang ‘Irfan (tasawuf teoritis) dengan Ibn ‘Arabi sebagai proponen utamanya budaya lebih berpeluang memiliki tempat yang sakral dalam keberagamaan. Dalam ‘Irfan, Tuhan dipercayai sebagai wujud transendental yang pada saat yang sama ber-tajalli (bermanifestasi, mengejawantah) dalam ciptaannya. Manifestasi ini bukan hanya pada ciptaan fisik, melainkan juga pada ciptaan-ciptaan non-fisiknya, termasuk budaya (hlm 176-177). Dengan mempromosikan keakraban Islam dengan budaya lokal, tak berarti kita kehilangan penglihatan akan adanya kemungkinan inkongruensi ajaran qath’i dengan unsur-unsur budaya lokal dalam perkembangannya hingga saat ini. Budaya lokal bisa merupakan bagian dari tajalli Tuhan, atau warisan keberagamaan Nabi-nabi terdahulu. Pada saat yang sama, bukan tak mungkin ia adalah penyimpangan dari ajaran keagamaan. Maka, disini sikap kritis-dialogis perlu dikembangkan agar keakraban agama dengan budaya lokal, sebaliknya dari mendistorsi ajaran Islam, bisa justru memperkuat akarnya dalam masyarakat (hlm 180).
Kitab III Islam dan Kebangsaan Bagian I membahas Islam Merangkul Nusantara. Ada lima tulisan dalam bagian ini yang memaparkan cara Islam Merangkul Nusantara dengan berbagai perspektifnya. Baik dari segi budaya, sejarah, teori-teori maupun tata bahasa. Sedangkan pada Bagian II yang membahas Islam dan Kebangsaan, dijelaskan bahwasannya salah satu dari masterpiece Islam Nusantara adalah tegaknya NKRI dan Pancasila. Dalam pandangan Islam Nusantara, Indonesia adalah dar al-salam dan Pancasila merupakan intisari dari ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Karenanya mempertahankan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam (hlm 241).
Buku ini patut dijadikan sumber rujukan dalam mengkaji Islam Nusantara karena kekayaan data di dalamnya. Selain itu buku ditulis oleh tokoh-tokoh yang sudah benar-benar mafhum dalam kajian keislaman seperti KH Abdurrahman Wahid, KH A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Nurcholis Majid, dan lain-lain. Untuk kekurangan buku ini yakni masih dijumpai beberapa kata berbahasa Arab yang belum diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
*Karya: Dewi Ratna Sari