Judul buku :
Pulang
Pengarang :
Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Th terbit :
September 2015
Jumlah halaman : iv+400 halaman
Bujang atau yang kerap menyebut dirinya Si Babi Hutan adalah jagal
nomor satu Keluarga Tong. Bisikan nama Si Babi Hutan di telinga mereka, maka
orang-orang akan gemetar ketakutan. Suruh Si Babi Hutan bicara, bahkan seorang
presiden pun akan terdiam mendengarkan. Hal tersebut memang tak bisa dielakkan
karena di tubuh Bujang mengalir deras darah perewa. “Kakekmu, ayah dari
bapakmu. Semua orang di dunia hitam mengenal kakekmu, Bujang. Dia adalah jagal
ternama hingga pulau seberang. Julukannya ‘Si Mata Merah’. Bisikkan nama
kakekmu di perempatan jalan, satu kota akan bergegas masuk ke dalam rumah,
meringkuk terkencing-kencing. Sebutkan nama kakekmu di balai bambu, satu kota
akan bergegas pulang, memadamkan lampu” (hlm 144).
Sebelum bergabung dengan Keluarga
Tong, salah satu keluarga besar di dunia shadow economy Bujang mendapat
pesan dari Mamaknya. “Kau boleh melupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh
kampung ini. Melupakan seluruh didikan yang Mamak berikan. Melupakan agama yang
Mamak ajarkan diam-diam jika bapak kau tidak ada di rumah. Mamak tahu kau akan
jadi apa di kota sana. Mamak tahu… Tapi, tapi apapun yang akan kau lakukan di
sana, berjanjilah Bujang. Kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau
akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan
menyentuh tuak dan segala minuman haram. Berjanjilah kau akan menjaga perutmu
dari semua itu, Bujang. Agar…. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu,
hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna.
Memanggilmu pulang,” (hlm 24). Pesan yang memang akhirnya memanggilnya tuk
Pulang.
Bujang adalah anak yang berbeda. Ia
tidak hanya menjadi tukang pukul untuk melakukan penyerbuan. Namun ia juga
menempuh pendidikan di bawah asuhan Frans untuk mengejar ketertinggalan,
mengambil kuliah di jurusan terbaik universitas terbaik di kota, dan mengambil
dua gelar master sekaligus di universitas ternama luar negeri. Ia adalah sosok
jenius, kuat, dan tidak mengenal rasa takut.
Seorang yang mampu melengkapi puzzle Keluarga Tong untuk
melebarkan sayapnya.
Namun naas, setelah usaha Keluarga
Tong menggurita, justru ada seseorang penghianat dalam tubuh keluarga itu yang ingin
menuntaskan dendam lamanya. Penghianat itu merencanakan misi yang berpegang
pada sebuah Pepatah paling terkenal di suku Bedouin. I against my brother,
my brother and I against my cousin, then my cousins and I against stranger.
Artinya adalah, aku melawan kakakku; kakakku dan aku melawan sepupuku;
sepupu-sepupuku, saudara-saudaraku melawan orang asing. Sebuah kejadian yang
akhirnya mengembalikan rasa takut ke dalam diri bujang. Namun disaat bersamaan,
memanggilnya untuk “pulang”.
Untungnya, nasib masih berpihak pada
Bujang. Ia berhasil memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan keluarga shadow
economy tersebut dan mengambil haknya sebagai Teuke Besar selanjutnya.
Untuk yang mengikuti karya-karya Tere
Liye sebelumnya, alur cerita dalam novel Pulang terkesan merupakan perpaduan
antara Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan Negeri di Ujung Tanduk. Cerita Bujang
yang awalnya menjadi sosok jagal nomor satu lantas memiliki kesempatan untuk
“pulang” karena mengingat pesan Mamaknya. Laiknya cerita Ray yang masa kecilnya
diisi oleh banyak aksi nakal namun mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri
karena ia tunduk saat menatap rembulan. Sedangkan kisah-kisah aksi Bujang yang berujung
pada penghianatan salah satu anggota Keluarga Tong bak aksi-aksi Thomas di buku
Negeri di Ujung Tanduk dan Negeri Para Bedebah mampu menyelesaikan maneuver raksasa
calon terkuat kandidat ketua partai.
Novel ini sangat cocok untuk insan
yang tengah kehilangan pegangan. Karena sesungguhnya, “Jangan dilawan semua
hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti
kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit
indah seperti yang kita lihat sekarang. Mau sejijik apa pun kau dengan
hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi
tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya,
membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah. Peluk erat-erat. Dekap
seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan,
semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka
erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita
selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?
Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini
hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, saat itulah kau
telah memenangkan seluruh pertempuran,” (hlm 339-340).
*Karya: Dewi
Ratna Sari